Bukan Sekadar Gaya, Cara Smartwatch Deteksi Bahaya Hipoksia di Ketinggian


sumber gambar: mirsad mujanovic via pexels
Saat kaki mulai menapak di ketinggian, tantangan sesungguhnya bukan hanya pada medan, tetapi pada respons tubuh terhadap lingkungan yang berubah. Udara semakin tipis, dan risiko kelelahan ekstrem atau bahkan acute mountain sickness meningkat. Di sinilah smartwatch bertransformasi dari sekadar alat waktu menjadi co-pilot kesehatan yang kritis.
Dua fitur terpenting yang wajib diperhatikan para petualang adalah Detak Jantung (Heart Rate) dan Saturasi Oksigen Darah (SpO2).
Sensor Detak Jantung memanfaatkan teknologi LED optik yang memancarkan cahaya ke pergelangan tangan. Sensor ini mengukur seberapa cepat darah mengalir. Bagi pendaki, data detak jantung bukan hanya soal kalori yang terbakar, tetapi indikator tingkat kelelahan dan stres. Detak jantung yang tiba-tiba melonjak tinggi padahal jalur relatif landai, bisa jadi peringatan bahwa tubuh perlu istirahat segera. Sebaliknya, detak yang terlalu lambat saat istirahat menunjukkan pemulihan yang baik.

sumber gambar: Omar Ramadhan via unsplash
Yang lebih krusial di ketinggian adalah SpO2, atau yang sering disebut Pulse Oximetry. Di dataran rendah, kadar oksigen dalam darah kita idealnya 95−100%. Saat naik gunung, kadar ini akan turun karena tekanan udara yang lebih rendah. Jika SpO2 turun terlalu jauh—misalnya di bawah 90%—itu adalah sinyal bahaya serius (Hipoksia). Smartwatch menggunakan sensor SpO2 untuk memberikan bacaan non-invasif. Dengan memonitor angka ini secara berkala, pendaki bisa memutuskan apakah harus memperlambat langkah, atau bahkan membatalkan summit demi keselamatan.
Intinya, smartwatch mengubah data biologis menjadi informasi praktis. Ini membantu membuat keputusan yang cerdas di lingkungan di mana tubuh tidak bisa berbohong.